Jumat, 26 Juni 2015

Bermain Sajak Denganmu (Dulu)

Udah lupa rasanya rindu nih, tolong kamu ingetin dong. Kamu, iya kamu, yang senyumannya manis itu...
Aku. Anak kecil yang senang bermain-main. Ditaman tenang hatimu.

Aku bukan tempat bermain.

Lalu tempat?

Tempat belajar untuk mengerti kehidupan.

Suatu kali, aku bertamasya ke padang rindu. Membawa balon berwarna-warni. Disana, kulepas nama kita ke udara.
Bergumul ragu dan tunggu menjadi satu. Dalam sekat jarak bernama rindu...

Rindu yang tak pernah mengenal waktu. Mengikis hari hingga saatnya bertemu.

Degupku tak beraturan. Dan aku ingin memelukmu sekarang. Hingga tenang.

Tenggelamkan pikiranmu dalam diam. Biarkan pikiran itu melayang dan akan berenti ketika mendapatkan sandaran yang tepat.

Pundakmulah sandaran yang tepat bagiku.

Bersandarlah selagi kau bisa.

Biarkan saya mengembara. Menuju kamu yang tak ada dalam peta.

Carilah, ku akan duduk diam disini, agar kau mudah menemukanku.

Bagaimana kalau orang lain yang lebih dahulu menemukanmu?

Berlabuhlah ke dermaga yang lain.

Dermaga yang lain begitu berbeda dibandingkan dengan kamu.

Semua itu sama. Itu semua tergantung pada dirimu.

Senja terlalu terburu-buru berlalu. Padahal aku ingin menulis banyak tentangmu. Di sekanvas awan jingga berpadu ungu.

Aku pun ingin menulis semua tentangmu didalam indahnya warna pelangi. Agar kau tahu, pelangi dan kamu itu sama-sama indah. Dan sulit ditemukan. Hanya muncul pada saat yang tak bisa kutebak, tapi menyenangkan.

Senja adalah kesetiaan. Setiap hari, tak pernah lupa untuk datang. Dan kamu adalah senja terindah yang pernah begitu aku rindukan.

Senja yang jingga akan berubah menjadi hitam. Rindu itu mungkin saja akan luntur menjadi kehitaman. Menyedihkan.

Sore tadi saya ingin menuliskan ini “aku mencintaimu utuh, tanpa jenuh” tapi saya takut kamu bilang berlebihan.

Apapun yang belum kita coba, kita tidak akan bisa tahu seperti apa hasilnya. Tidak jenuh untuk saat ini, tapi nanti... kita tidak pernah tahu.

Saya selalu membayangkan malam yang lugu merunduk. Lalu dengan gemas mengatakan bahwa kamu lebih terang dari purnama.

Saya selalu menunggu datangnya sinar mentari, yang akan memberikan seulas senyuman manis dan kuharap kau pun seperti itu kepadaku.

Dimatamu aku lihat badai. Angkara pengoyak rindu. Meluluh lantakan damba. Menyisakan sepi dan sendiri tanpamu. Selamat pagi ;)
Senja menimang kenangan. Diantara rindu tertahan dan sua yang tak tersampaikan perjumpaan.

Untitled

Sejak awal, semuanya sudah salah
Kau yang mengawali semuanya, dan menganggap itu semua hanya permainan
Aku yang bodoh . bodoh sekali .
Terlalu mudah menganggap bahwa kau benar-benar tulus
Dan ketika itu, aku memutuskan untuk melepasmu tanpa alasan
Lalu kau hilang bak ditelan bumi
Tak ada kabar, dan aku tak tahu kau ada dimana
Sepertinya kau memang ingin jauh dariku
Aku yang terlalu bodoh, setia menunggumu disini
Terlalu menanggapi serius setiap kata-kata yang terlontar dari mulut kecilmu itu
Dan sekarang, kau tiba-tiba datang
Mengucapkan rindu dan sayang dalam waktu yang terlalu cepat
Dan itu . . . itu yang membuatku tak yakin dengan hatimu
Dulu, kau bilang kepadaku “ikhlaskanlah aku, ikhlaskan aku seperti aku mengikhlaskanmu”
Dulu, bagiku itu terlalu sulit. Karena pada nyatanya aku terlanjur menaruh sebagian hatiku kepadamu
Hari pun berganti, sudah berapa hari kita tidak bertemu? Kita tidak saling menyapa?
Aku mencoba mempertahankan ini semua. Mempertahankan perasaanku ini.
Karena aku yakin, kau akan kembali. Kembali disampingku lagi. Memberiku semangat lagi.
Tapi nyatanya, setelah kau kembali. Rasa yang selama ini kupertahankan ternyata . . . . pudar
Semuanya terasa hambar, tapi aku masih menyayangimu
Semuanya seperti mimpi, kau datang tiba-tiba dan mengatakan kau menyayangiku.
Bukankah aneh? Aku seperti dipermainkan olehmu.
Kau datang, bertanya tentang perasaanku. Lalu pergi.
Kau datang, bertanya tentang perasaanku. Lalu pergi lagi.
Seperti itukah dirimu sekarang? Aku tidak mengenal dirimu. Kau terlalu abu-abu sekarang.
Dan aku mencoba meyakinkan, apa benar kau menyayangiku?
Tapi nyatanya, kau tidak bisa menjawab. Kau memutar semua pertanyaanku.
Dan bukankah itu berarti kau belum yakin tentang perasaanmu terhadapku?
Dan sekarang, aku yang salah. aku yang salah terlalu menekanmu.
Memaksamu untuk menjawab pertanyaanku. Egois. Apa aku memang egois?
Dan sekarang, kau memilih untuk pergi lagi. Pergi tanpa pesan. Pergi tanpa berpamitan.
Maaf, jika memang aku terlalu egois.
Maaf, karena aku memaksamu beberapa hari yang lalu.
Maaf, karena aku tak bisa yakin dengan kata-katamu.
Maaf, karena aku belum bisa yakin dengan perasaanmu.
Terlalu banyak kata maaf yang ingin kuucapkan kepadamu.
Bisakah kau kembali? Walau hati ini tak seperti dulu lagi. Walaupun semuanya sudah hambar. Bisakah?
Bisakah kita mengulang dari awal. Walaupun tidak bisa bersama seperti dulu.
Tidak masalah bagiku jika kita hanya bisa . . . berteman.
Bagiku, itupun sudah cukup.
Dan terakhir, maafkan aku. Maaf jika kata-kataku menyakitimu.

Semoga kau selalu dilindungi oleh-Nya. Dan semoga kau . . . . . . bahagia J

Surat Pertama, Teruntuk Kunang-Kunang

27 September 2013
19:14
Tuhan, aku rindu kunang-kunangku. Kunang-kunang yang selalu menerangi malamku. Dia yang selalu menemaniku dikegelapan. Rindu ini sudah berkecamuk didada. Ingin rasanya berteriak dan memintanya untuk segera berada disini. Tapi apa dayaku, aku bukan siapa-siapa. Aku hanya bisa menanti, menanti, dan menanti dia datang. Aku bahagia, walau sebenarnya air ini sudah berderai dihati. Biarlah. Aku yang terlalu lemah, tetap menunggunya walau dia tak memberikan kepastian. Tuhan, sampaikan untaian rindu yang tak bisa kuucapkan untuknya. Biarkanlah hatinya yang merasakan perasaan ini. Walaupun aku sendiri tidak pernah tahu sampai kapan ini semua berakhir bahagia. Aku dengan kunang-kunangku.
Hei kunang-kunang, aku rasa dia merindukanmu. Dia kembali (lagi) di hidupmu. Entahlah. Bahagia atau sedih aku tak bisa merasakan keduanya. Yang pasti, aku tahu, kunang-kunangku sedang dirindukan oleh seseorang yang pernah diterangi olehmu, kunang-kunang. Aku tak ingin mengganggumu. Biarkan malam ini kau kembali meneranginya (lagi). Apa hanya malam ini saja atau akan berlanjut? Apa aku tidak akan kau temani lagi? Apa kau akan membiarkanku sendiri dalam gelap? Kuharap tidak. Tapi jika dia bisa membuat kau terlihat terang di malam dan siang hari aku rela. Karena aku tahu, aku hanya memperlakukanmu disaat ku butuh. Aku hanya bermain dipekarangan hatimu. Tapi itu dulu. Dan sekarang, aku ingin setiap hari bermain dipekarangan yang indah itu. Yang slalu buatku nyaman dengan suasana didalamnya. Biarkan aku berada dipekarangan itu, sebentar.
Kunang-kunang, bersinarlah dikala siang. Kau tak hanya indah pada malam hari, kau selalu indah di setiap waktu. Karena itu, aku ingin memilikimu. Ingin menjaga setiap sinar yang kau pancarkan. Selamat malam kunang-kunang, aku bahagia bisa melihat sinarmu malam ini, walau untuknya.