Ketika senja ini
datang, mereka berkumpul di tempat peraduannya.
Ketika senja ini
datang, aku disini. Diam menikmati rasa yang sangat singkat. Ketika semua awalnya
bercahaya, lalu berubah menjadi jingga, hingga pada akhirnya akan menjadi
padam.
Ketika senja ini
datang, aku mengamati mereka yang tengah melupakan duniawinya. Mereka yang
mulai tumbuh dewasa, yang dibebankan dengan segala macam sandiwara dunia yang
membuat mereka berkumpul disini.
Ketika senja ini
datang, aku hanyut dalam angan. Aku teringat padamu. Aku terbenam dalam
hangatnya lamunanku. Dan sekarang, aku rindu padamu pada saat senja sudah
datang.
Ketika senja sudah
pergi, matahari pun tenggelam. Tapi tidak denganku. Aku masih belum bisa
menenggelamkan kamu yang masih setia di pikiranku. Saat aku disini, yang
terlintas dibenakku adalah “Kapan kita bisa bertemu lagi?”, “Kapan kita bisa
bertengkar dan mempertahankan pendapat kita? Walaupun pada akhirnya aku yang
mengalah.”, “Bisakah aku mengamatimu dalam diamku (lagi)?”, “Bisakah aku
merasakan tatapan tajammu itu (lagi)?”. Banyak pertanyaan yang terlintas di
pikiranku yang pada intinya adalah aku takut jauh darimu. Sehingga rutinitasku
terdahulu, mungkin sudah sulit untuk aku lakukan.
Ada hal yang menarik
pada senja, kau tahu apa itu? Aku yakin kamu pasti lebih tahu tentang ini.
Tunggu! Untuk kali ini, biar aku saja yang berbicara, dan aku tidak ingin
berdebat mengenai senja denganmu. Hmm, senja adalah kamu. Kamu itu senjaku. Aku
sudah tahu mengenai senja tapi aku baru mengetahui betapa indahnya senja. Ya!
Seperti itulah kamu. Dengan jingga yang bertebaran di langit sore, seperti kamu
yang dinikmati oleh beberapa pasang mata yang sama sepertiku, mengamatimu dalam
diam. Aku yang terlalu singkat melihat senja, aku juga yang terlalu singkat
mengenalmu. Tapi, aku yang terlalu dalam jatuh kepadamu.
Hei Senjaku, kau
sudah terbenam dan berganti menjadi malam. Dan anehnya, aku tetap suka
denganmu. Aku suka dengan perubahanmu. Dan aku suka dengan malam. Lebih tepatnya
adalah kamu, malamku.
23-10-2015
13:57